watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

KETIKA HUJAN DAN BADAI TURUN

Kisah ini terjadi ketika aku mash berumur
delapanbelas tahun, murid kelas dua sekolah
teknik setingkat SMU di sebuah kota kabupaten di
Sumatera.
Namaku Didit. Aku lahir di satu keluarga pegawai
perkebunan yang memiliki lima orang anak yang
semua laki-laki. Yang tertua adalah aku. Dan ini
menjadi akar masalah pada kehidupan remajaku.
Jarang bergaul dengan perempuan selain ibuku,
akupun jadi canggung kalau berdekatan dengan
perempuan. Maklumlah di sekolahku umumnya
juga cowok semua, jarang perempuan.
Selain itu aku merasa rendahdiri dengan
penampilan diriku di hadapan perempuan. Aku
tinggi kurus dan hitam, jauh dari ciri-ciri pemuda
ganteng. Wajahku jelek dengan tulang rahang
bersegi. Karena tampangku yang mirip keling,
teman-temanku memanggil aku Pele, karena aku
suka main sepakbola.
Tapi sekalipun aku jelek dan hitam, otakku cukup
encer. Pelajaran ilmu pasti dan fisika tidak terlalu
sulit bagiku. Dan juga aku jagoan di lapangan
sepakbola. Posisiku adalah kiri luar. Jika bola
sudah tiba di kakiku penonton akan bersorak-
sorai karena itu berarti bola sudah sukar direbut
dan tak akan ada yang berani nekad main keras
karena kalau sampai beradu tulang kering,
biasanya merekalah yang jatuh meringkuk
kesakitan sementara aku tidak merasa apa-apa.
Dan kalau sudah demikian lawan akan menarik
kekuatan ke sekitar kotak penalti membuat
pertahanan berlapis, agar gawang mereka jangan
sampai bobol oleh tembakanku atau umpan yang
kusodorkan. Hanya itulah yang bisa
kubanggakan, tak ada yang lain.
Tampang jelek muka bersegi, tinggi kurus dan
hitam ini sangat mengganggu aku, karena aku
sebenarnya ingin sekali punya pacar. Bukan pacar
sembarang pacar, tetapi pacar yang cantik dan
seksi, yang mau diremas-remas, dicipoki dan
dipeluk-peluk, bahkan kalau bisa lebih jauh lagi
dari itu. Dan ini masalahnya. Kotaku itu adalah
kota yang masih kolot, apalagi di lingkungan
tempat aku tinggal. Pergaulan antara laki-laki dan
perempuan yang sedikit mencolok menjadi
sorotan tajam masyarakat. Dan jadi bahan
gunjingan ibu-ibu antar tetangga.
Oh ya mungkin ada yang bertanya mengapa kok
soal punya pacar atau tidak punya pacar saja
begitu penting. Ya itulah. Rahasianya aku ini
punya nafsu syahwat besar sekali. Entahlah,
barangkali aku ini seorang *********. Melihat
ayam atau ****** main saja, aku bisa tegang.
Setiap pagi penisku keras seperti kayu sehingga
harus dikocok sampai muncrat dulu baru
berkurang kerasnya. Dan kalau muncrat bukan
main banyaknya yang keluar. Mungkin karena
ukuranku yang lebih panjang dari ukuran rata-
rata. Dan saban melihat perempuan cantik
syahwatku naik ke kepala. Apalagi kalau kelihatan
paha. Aku bisa tak mampu berpikir apa-apa lagi
kalau gadis dan perempuan cantik itu lewat di
depanku. Senjataku langsung tegang kalau
melihat dia berjalan berlenggak-lenggok dengan
panggul yang berayun ke kiri dan ke kanan.
Ngaceng abis kayak siap berlaga.
Dia? Ya dia. Maksudku Lala dan ….. Tante Ratih.
Lala adalah murid salahsatu SMU di kotaku.
Kecantikannya jadi buah bibir para cowok lanang
seantero kota. Dia tinggal dalam jarak beberapa
rumah dari rumahku, jadi tetanggaku juga. Aku
sebenarnya ingin sekali seandainya Lala jadi
pacarku, tapi mana bisa. Cowok-cowok keren
termasuk anak-anak penggede pada ngantri
ngapelin dia, mencoba menjadikannya pacar.
Hampir semua bawa mobil, kadang mobil dinas
bapaknya, mana mampu aku bersaing dengan
mereka. Terkadang kami berpapasan kalau ada
kegiatan RK atau kendurian, tetapi aku tak berani
menyapa, dia juga tampaknya tidak tertarik
hendak berteguran dengan aku yang muka saja
bersegi dan hitam pula. Ya pantaslah, karena
cantik dan dikejar-kejar banyak pemuda, bahkan
orang berumur juga, dia jadi sombong,
mentang-mentang. Atau barangkali itu hanya
alasanku saja. Yang benar adalah, aku memang
takut sama perempuan cantik. Berdekatan dengan
mereka aku gugup, mulutku terkatup gagu dan
nafasku sesak. Itu Lala.
Dan ada satu lagi perempuan yang juga
membuat aku gelisah jika berada di dekatnya.
Tante Ratih. Tante Ratih tinggal persis di sebelah
rumahku. Suaminya pemasok yang
mendatangkan beberapa bahan kebutuhan
perkebunan kelapa sawit. Karena itu dia sering
bepergian. Kadang ke Jakarta, Medan dan ke
Singapura. Belum lama mereka menjadi tetangga
kami. Entahlah orang dari daerah mana suaminya
ini. Tapi aku tahu Tante Ratih dari Bandung, dan
dia ini wuahh mak … sungguh-sungguh
audzubile cantiknya. Wajah cakep. Putih. Bodinya
juga bagus, dengan panggul berisi, paha kokoh,
meqi tebal dan pinggang ramping. Payudaranya
juga indah kenceng serasi dengan bentuk
badannya. Pernah di acara pentas terbuka di
kampungku kala tujuhbelas agustusan dia
menyumbangkan peragaan tari jaipongan. Wah
aku betul-betul terpesona.
Dan Tante Ratih ini teman ibuku. Walau umur
mereka berselisih barangkali 15 tahun, tapi
mereka itu cocok satu sama lain. Kalau
bergunjing bisa berjam-jam, maklum saja dia
tidak punya anak dan seperti ibuku tidak bekerja,
hanya ibu rumahtangga saja. Terkadang ibuku
datang ke rumahnya, terkadang dia datang ke
rumahku.
Dan satu kebiasaan yang kulihat pada Tante Ratih
ini, dia suka duduk di sofa dengan menaikkan
sebelah atau kedua kakinya di lengan sofa. Satu
kali aku baru pulang dari latihan sepakbola, saat
membuka pintu kudapati Tante Ratih lagi
bergunjing dengan ibuku. Rupanya dia tidak
mengira aku akan masuk, dan cepat-cepat
menurunkan sebelah kakinya dari sandaran
lengan sofa, tapi aku sudah sempat melihat celah
kangkangan kedua pahanya yang putih padat dan
celana dalam merah jambu yang membalut ketat
meqinya yang bagus cembung. Aku mereguk
ludah, kontolku kontak berdiri. Tanpa bicara
apapun aku terus ke belakang. Dan sejak itu
pemandangan sekilas itu selalu menjadi obsesiku.
Setiap melihat Tante Ratih, aku ingat kangkangan
paha dan meqi tebal dalam pagutan ketat celana
dalamnya.
Oh ya mengenai Tante Ratih yang tak punya
anak. Saya mendengar ini terkadang jadi keluh-
kesahnya pada ibuku. Aku tak tahu benar
mengapa dia dan suaminya tak punya anak, dan
entah apa yang dikatakan ibuku mengenai hal itu
untuk menghibur dia.
Apalagi? Oh ya, ini yang paling penting yang
menjadi asal-muasal cerita. Kalau bukan karena ini
barangkali takkan ada cerita hehehhehe …. Tante
Ratih ini, dia takut sekali sama setan, tapi anehnya
suka nonton film setan di televisi hehehe ….
Terkadang dia nonton di rumah kami kalau
suaminya lagi ke kota lain untuk urusan
bisnesnya. Pulangnya dia takut, lalu ibuku
menyuruh aku mengantarnya sampai ke pintu
rumahnya.
Dan inilah permulaan cerita.
Pada suatu hari tetangga sebelah kanan rumah
Tante Ratih dan suaminya (kami di sebelah kiri)
meninggal. Perempuan tua ini pernah bertengkar
dengan Tante Ratih karena urusan sepele. Kalau
tidak salah karena soal ayam masuk rumah.
Sampai si perempuan meninggal karena penyakit
bengek, mereka tidak berteguran.
Tetangga itu sudah tiga hari dikubur tak jauh di
belakang rumahnya, sewaktu suami Tante Ratih,
Om Hendra berangkat ke Singapur untuk urusan
bisnes pasokannya. Sepanjang hari setelah
suaminya berangkat Tante Ratih uring-uringan
sama ibuku di rumahku. Dia takut sekali karena
sewaktu masih hidup tetangga itu mengatakan
kepada banyak orang bahwa sampai di kuburpun
dia tidak akan pernah berbaikan dengan Tante
Ratih.
Lanjutannya ketika aku pulang dari latihan
sepakbola, ibu memanggilku. Katanya Tante Ratih
takut tidur sendirian di rumahnya karena
suaminya lagi pergi. Dan pembantunya sudah
dua minggu dia berhentikan karena kedapatan
mencuri. Sebab itu dia menyuruhku tidur di
ruang tamu di sofa Tante Ratih. Mula-mula aku
keberatan dan bertanya mengapa bukan salah
seorang dari adik-adikku. Kukatakan aku mesti
sekolah besok pagi. Yang sebenarnya seperti
sudah saya katakan sebelumnya, saya selalu
gugup dan tidak tenteram kalau berdekatan
dengan Tante Ratih (tapi tentu saja ini tak
kukatakan pada ibuku). Kata ibuku adik-adikku
yang masih kecil tidak akan membantu membuat
Tante Ratih tenteram, lagi pula adik-adikku itupun
takut jangan-jangan didatangi arwah tetangga
yang sudah mati itu hehehehe.
Lalu malamnya aku pergi ke rumah Tante Ratih
lewat pintu belakang. Tante Ratih tampaknya
gembira aku datang. Dia mengenakan daster tipis
yang membalut ketat badannya yang sintal padat.
“Mari makan malam Dit”, ajaknya membuka
tudung makanan yang sudah terhidang di meja.
“Saya sudah makan, Tante,” kataku, tapi Tante
Ratih memaksa sehingga akupun makan juga.
“Didit, kamu kok pendiam sekali? Berlainan betul
dengan adik-adik dan ibumu”, kata Tante Ratih
selagi dia menyendok nasi ke piring.
Aku sulit mencari jawaban karena sebenarnya
aku tidak pendiam. Aku tak banyak bicara hanya
kalau dekat Tante Ratih saja, atau Lala atau
perempuan cantik lainnya. Karena gugup.
“Tapi Tante suka orang pendiam”, sambungnya.
Kami makan tanpa banyak bicara, habis itu kami
nonton televisi acara panggung musik pop.
Kulihat Tante Ratih berlaku hati-hati agar jangan
sampai secara tak sadar menaikkan kakinya ke
sofa atau ke lengan sofa. Selesai acara musik kami
lanjutkan mengikuti warta berita lalu filem yang
sama sekali tidak menarik. Karena itu Tante Ratih
mematikan televisi dan mengajak aku berbincang
menanyakan sekolahku, kegiatanku sehari-hari
dan apakah aku sudah punya pacar atau belum.
Aku menjawab singkat-singkat saja seperti orang
blo’on. Kelihatannya dia memang ingin mengajak
aku terus bercakap-cakap karena takut pergi tidur
sendirian ke kamarnya. Namun karena melihat
aku menguap, Tante Ratih pergi ke kamar dan
kembali membawa bantal, selimut dan sarung. Di
rumah aku biasanya memang tidur hanya
memakai sarung karena penisku sering tidak mau
kompromi. Tertahan celana dalam saja bisa
menyebabkan aku merasa tidak enak bahkan
kesakitan. Tante Ratih sudah masuk ke kamarnya
dan aku baru menanggalkan baju sehingga hanya
tinggal singlet dan meloloskan celana blujins dan
celana dalamku menggantinya dengan sarung
ketika hujan disertai angin kencang terdengar di
luar. Aku membaringkan diri di sofa dan
menutupi diri dengan selimut wol tebal itu ketika
suara angin dan hujan ditingkah gemuruh guntur
dan petir sabung menyabung. Angin juga
semakin kencang dan hujan makin deras
sehingga rumah itu seperti bergoyang. Dan tiba-
tiba listrik mati sehingga semua gelap gulita.
Kudengar suara Tante memanggil di pintu
kamarnya.
“Ya, Tante?”
“Tolong temani Tante mencari senter”.
“Dimana Tante?”, aku mendekat meraba-raba
dalam gelap ke arah dia.
“Barangkali di laci di dapur. Tante mau ke sana.”
Tante baru saja menghabiskan kalimatnya saat
tanganku menyentuh tubuhnya yang empuk.
Ternyata persis dadanya. Cepat kutarik tanganku.
“Saya kira kita tidak memerlukan senter Tante.
Bukankah kita sudah mau tidur? Saya sudah
mengantuk sekali.”
“Tante takut tidur dalam gelap Dit”.
“Gimana kalau saya temani Tante supaya tidak
takut?”, aku sendiri terkejut dengan kata-kata yang
keluar dari mulutku, mungkin karena sudah
mengantuk sangat. Tante Ratih diam beberapa
saat.
“Di kamar tidur Tante?”, tanyanya.
“Ya saya tidur di bawah”, kataku. “di karpet di
lantai.” Seluruh lantai rumahnya memang ditutupi
karpet tebal.
“Di tempat tidur Tante saja sekalian asal ….. “
Aku terkesiap. “A … asal apa Tante?”
“Asal kamu jangan bilang sama teman-temanmu,
Tante bisa dapat malu besar. Dan juga jangan
sekali-kali bilang sama ibumu”.
“Ah buat apa itu saya bilang-bilang? Tidak akan,
Tante”. Dalam hati aku melonjak-lonjak
kegirangan. Tak kusangka aku bakalan dapat
durian runtuh, berkesempatan tidur di samping
Tante Ratih yang cantik banget. Siapa tahu aku
nanti bisa nyenggol-nyenggol dia sedikit-sedikit.
Meraba-raba seperti orang buta menjaga jangan
sampai terantuk ke dinding aku kembali ke sofa
mengambil selimut dan bantal, lalu kembali
meraba-raba ke arah Tante Ratih di pintu
kamarnya. Cahaya kilat dari kisi-kisi di puncak
jendela membantu aku menemukan
keberadaannya dan dia membimbing aku masuk.
Badan kami berantuk saat dia menuntun aku ke
tempat tidurnya dalam gelap. Ingin sekali aku
merangkul tubuh empuknya tetapi aku takut dia
marah. Akhirnya kami berdua berbaring berjajar
di tempat tidur. Selama proses itu kami sama
menjaga agar tidak terlalu banyak bersentuhan
badan. Perasaanku tak karuan. Baru kali inilah aku
pernah tidur dengan perempuan bahkan dengan
ibuku sendiripun tak pernah. Perempuan cantik
dan seksi lagi.
“Kamu itu kurus tapi badanmu kok keras Dit?”
bisiknya di sampingku dalam gelap. Aku tak
menjawab.
“Seandainya kau tahu betapa ******-ku lebih
keras lagi sekarang ini,” kataku dalam hati. Aku
berbaring miring membelakangi dia. Lama kami
berdiam diri. Kukira dia sudah tidur, yang jelas
aku tak bisa tidur. Bahkan mataku yang tadinya
berat mengantuk, sekarang terbuka lebar.
“Dit,” kudengar dia memecah keheningan. “Kamu
pernah bersetubuh?”
Nafasku sesak dan mereguk ludah.
“Belum Tante, bahkan melihat celana dalam
perempuanpun baru sekali.” Wah berani sekali
aku.
“Celana dalam Tante?”
“Hmmh”.
“Kamu mau nanggelin Dit?” dalam gelap
kudengar dia menahan tawa.
Aku hampir-hampir tak percaya dia mengatakan
itu.
“Nanggelin celana dalam Tante?”
“Iya. Tapi jangan dibilangin siapapun.”
Aku diam agak lama.
“Takutnya nanti bilah saya tidak mau kendor
Tante”.
“Nanti Tante kendorin”.
“Sama apa?”
“Ya tanggelin dulu. Nanti bilahmu itu tahu sendiri.”
Suaranya penuh tantangan.
Dan akupun berbalik, nafsuku menggelegak. Aku
tahu inilah kesempatan emas untuk
melampiaskan hasrat berahiku yang terpendam
pada perempuan cantik-seksi selama bertahun-
tahun usia remajaku. Rasanya seperti aku dapat
peluang emas di depan gawang lawan dalam
satu pertandingan final kejuaraan besar melawan
kesebebelasan super kuat, dimana pertandingan
bertahan 0-0 sampai menit ke-85. Umpan manis
disodorkan penyerang tengah ke arah kiri. Bola
menggelinding mendekati kotak penalti. Semua
mengejar, kiper terjatuh dan aku tiba lebih dulu.
Dengan kekuatan penuh kulepaskan tembakan
geledek. GOL! Begitulah rasanya ketika aku tergesa
melepas sarungku dan menyerbu menanggalkan
celana dalam Tante Ratih. Lalu dalam gelap kuraih
kaitan BH dipunggungnya, dia membantuku.
Kukucup mulutnya. Kuremas buah dadanya dan
tak sabaran lagi kedua kakiku masuk ke celah
kedua pahanya. Kukuakkan paha itu, kuselipkan
paha kiriku di bawah paha kanannya dan dengan
satu tikaman kepala kontolku menerjang tepat
akurat ke celah labianya yang basah. Saya
tancapkan terus. MASUK!
Aku menyetubuhi Tante Ratih begitu tergesa-
gesa. Sambil menusuk liang vaginanya kedua
buah dadanya terus kuremas dan kuhisap dan
bibirnya kupilin dan kulumat dengan mulutku.
Mataku terbeliak saat penisku kumaju-
mundurkan, kutarik sampai tinggal hanya kepala
lalu kubenam lagi dalam mereguk nikmat sorgawi
vaginanya. Kenikmatan yang baru pertama
kalinya aku rasakan. Ohhhhh … Ohhhhh ….
Tetapi malangnya aku, barangkali baru delapan
kali aku menggenjot, itupun batang kemaluanku
baru masuk dua pertiga sewaktu dia muntah-
muntah dengan hebat. Spermaku muncrat
tumpah ruah dalam lobang kewanitaannya. Dan
akupun kolaps. Badanku penuh keringat dan
tenagaku rasanya terkuras saat kusadari bahwa
aku sudah knocked out. Aku sadar aku sudah
keburu habis sementara merasa Tante Ratih
masih belum apa-apa, apalagi puas.
Dan tiba-tiba listrik menyala. Tanpa kami sadari
rupanya hujan badai sudah reda. Dalam terang
kulihat Tante Ratih tersenyum disampingku. Aku
malu. Rasanya seperti dia menertawakan aku.
Laki-laki loyo. Main beberapa menit saja sudah
loyo.
“Lain kali jangan terlampau tergesa-gesa dong
sayang”, katanya masih tersenyum. Lalu dia
turun dari ranjang. Hanya dengan kimono yang
tadinya tidak sempat kulepas dia pergi ke kamar
mandi, tentunya hendak cebok membersihkan
spermaku yang berlepotan di celah
selangkangannya.
Keluar dari kamar mandi kulihat dia ke dapur dan
akupun gantian masuk ke kamar mandi
membersihkan penis dan pangkal penisku
berserta rambutnya yang juga berlepotan
sperma. Habis itu aku kembali ke ranjang. Apakah
akan ada babak berikutnya? Tanyaku dalam hati.
Atau aku disuruh kembali ke sofa karena lampu
sudah nyala?
Tante Ratih masuk ke kamar membawa cangkir
dan sendok teh yang diberikan padaku.
”Apa ini Tante?”
“Telor mentah dan madu lebah pengganti yang
sudah kamu keluarkan banyak tadi”, katanya
tersenyum nakal dan kembali ke dapur.
Akupun tersenyum gembira. Rupanya akan ada
babak berikutnya. Dua butir telur mentah itu
beserta madu lebah campurannya kulahap dan
lenyap kedalam perutku dalam waktu singkat.
Dan sebentar kemudian Tante kembali membawa
gelas berisi air putih.
Dan kami duduk bersisian di pinggir ranjang.
“Enak sekali Tante”, bisikku dekat telinganya.
“Telor mentah dan madu lebah?”, tanyanya.
“Bukan. Meqi Tante enak sekali.”
“Mau lagi?” tanyanya menggoda.
“Iya Tante, mau sekali”, kataku tak sabar dengan
melingkarkan tangan di bahunya.
“Tapi yang slow ya Dit? Jangan buru-buru seperti
tadi.”
“Iya Tante, janji”.
Dan kamipun melakukannya lagi. Walau di kota
kabupaten aku bukannya tidak pernah nonton
filem bokep. Ada temanku yang punya kepingan
VCD-nya. Dan aku tahu bagaimana foreplay
dilakukan. Sekarang aku coba mempraktekkannya
sendiri. Mula-mula kucumbu dada Tante Ratih,
lalu lehernya. Lalu turun ke pusar lalu kucium dan
kujilat ketiaknya, lalu kukulum dan kugigit-gigit
pentilnya, lalu jilatanku turun kembali ke bawah
seraya tanganku meremas-remas kedua
payudaranya. Lalu kujilat belahan vaginanya.
Sampai disini Tante Ratih mulai merintih.
Kumainkan itilnya dengan ujung lidahku. Tante
Ratih mengangkat-angkat panggulnya menahan
nikmat. Dan akupun juga sudah tidak tahan lagi.
Penisku kembali tegang penuh dan keras seakan
berteriak memaki aku dengan marah “Cepatlah
*******, jangan berleha-leha lagi”, teriaknya tak
sabar. Penis yang hanya memikirkan mau
enaknya sendiri saja.
Aku merayap di atas tubuh Tante Ratih.
Tangannya membantu menempatkan bonggol
kepala penisku tepat di mulut lobang
kemaluannya. Dan tanpa menunggu lagi aku
menusukkan penisku dan membenamkannya
sampai dua pertiga. Lalu kupompa dengan ganas.
“Diiiiiiiit”, rengeknya mereguk nikmat sambil
merangkul leher dan punggungku dengan mesra.
Rangkulan Tante Ratih membuat aku semakin
bersemangat dan terangsang. Pompaanku
sekarang lebih kuat dan rengekan Tante Ratih juga
semakin manja. Dan kupurukkan seluruh
batangku sampai ujung kepada penisku
menyentuh sesuatu di dasar rahim Tante.
Sentuhan ini menyebabkan Tante menggeliat-
geliat memutar panggulnya dengan ganas,
meremas dan menghisap kontolku. Reaksi Tante
ini menyebabkan aku kehilangan kendali. Aku
bobol lagi. Spermaku muncrat tanpa dapat
ditahan-tahan lagi. Dan kudengar Tante Ratih
merintih kecewa. Kali ini aku keburu knocked out
selagi dia hampir saja mencapai orgasme.
“Maafkan Tante”, bisikku di telinganya.
“Tak apa-apa Dit,” katanya mencoba
menenangkan aku. Dihapusnya peluh yang
meleleh di pelipisku.
“Dit, jangan bilang-bilang siapapun ya sayang?
Tante takut sekali kalau ibumu tahu. Dia bakalan
marah sekali anaknya Tante makan”, katanya
tersenyum masih tersengal-sengal menahan
berahi yang belum tuntas penuh. Kontolku
berdenyut lagi mendengar ucapan Tante itu, apa
memang aku yang dia makan bukannya aku
yang memakan dia? Dan aku teringat pada
kekalahanku barusan. Ke-lelakian-ku tersinggung.
Diam-diam aku bertekad untuk menaklukkannya
pada kesempatan berikutnya sehingga tahu rasa,
bukan dia yang memakan aku tetapi akulah yang
memakan dia.
Aku terbangun pada kokokan ayam pertama.
Memang kebiasaanku bangun pagi-pagi sekali.
Karena aku perlu belajar. Otakku lebih terbuka
mencerna rumus-rumus ilmu pasti dan fisika
kalau pagi. Kupandang Tante Ratih yang tergolek
miring disampingku. Dia masih tidak ber-celana
dalam dan tidak ber-BH. Sebelah kakinya
menjulur dari belahan kimono di
selangkangannya membentuk segitiga sehingga
aku dapat melihat bagian dalam pahanya yang
putih padat sampai ke pangkalnya. Ujung
jembutnya juga kulihat mengintip dari pangkal
pahanya itu dan aku juga bisa melihat sebelah
buah dadanya yang tidak tertutup kimono. Aku
sudah hendak menerkam mau menikmatinya
sekali lagi sewaktu aku merasa desakan mau
buang air kecil. Karena itu pelan-pelan aku turun
dari ranjang terus ke kamar mandi.
Aku sedang membasuh muka dan kumur-kumur
sewaktu Tante Ratih mengetok pintu kamar
mandi. Agak kecewa kubukakan pintu dan Tante
Ratih memberikan handuk bersih. Dia sodorkan
juga gundar gigi baru dan odol.
“Ini Dit, mandi saja disini,” katanya. Barangkali dia
kira aku akan pulang ke rumahku untuk mandi?
Goblok bener.
Akupun cepat-cepat mandi. Keluar dari
kamarmandi dengan sarung dan singlet dan
handuk yang membalut tengkuk, kedua pundak
dan lengan kulihat Tante Ratih sudah di dapur
menyiapkan sarapan.
“Ayo sarapan Dit. Tante juga mau mandi dulu,”
katanya meninggalkan aku.
Kulihat di meja makan terhidang roti mentega
dengan botol madu lebah Australia disampingnya
dan semangkok besar cairan kental berbusa. Aku
tahu apa itu. Teh telor. Segera saja kuhirup dan
rasanya sungguh enak sekali di pagi yang dingin.
Saya yakin paling kurang ada dua butir telor
mentah yang dikocokkan Tante Ratih dengan
pengocok telur disana, lalu dibubuhi susu kental
manis cap nona dan bubuk coklat. Lalu cairan teh
pekat yang sudah diseduh untuk kemudian
dituang dengan air panas sembari terus dikacau
dengan sendok. Lezat sekali. Dan dua roti
mentega berlapis juga segera lenyap ke perutku.
Kumakan habis selagi berdiri. Madu lebahnya
kusendok lebih banyak.
Tante tidak lama mandinya dan aku sudah
menunggu tak sabar.
Dengan hanya berbalut handuk Tante keluar dari
kamar mandi.
“Tante, ini teh telornya masih ada”, kataku.
“Kok tidak kamu habiskan Dit?” tanyanya.
“Tante kan juga memerlukannya” , kataku
tersenyum lebar. Dia menerima gelas besar itu
sambil tersenyum mengerling lalu
menghirupnya.
“Saya kan dapat lagi ya Tante”, tanyaku
menggoda. Dia menghirup lagi dari gelas besar
itu. “Tapi jangan buru-buru lagi ya?” katanya
tersenyum dikulum. Dia menghirup lagi sebelum
gelas besar itu dia kembalikan padaku. Dan aku
mereguk sisanya sampai habis.
Penuh hasrat aku mengangkat dan memondong
Tante Ratih ke kamar tidur.
“Duh, kamu kuat sekali Dit”, pujinya melekapkan
wajah di dadaku.
Kubaringkan dia di ranjang, handuk yang
membalut tubuh telanjang-nya segera kulepas.
Duhhh cantik sekali. Segalanya indah. Wajah,
toket, perut, panggul, meqi, paha dan kakinya.
Semuanya putih mulus mirip artis filem Jepang.
Semula aku ragu bagaimana memulainya. Apa
yang mesti kuserang dulu, karena semuanya
menggiurkan. Tapi dia mengambil inisiatif.
Dilingkarkannya tangannya ke leherku dan dia
dekatkan mulutnya ke mulutku, dan akupun
melumat bibir seksinya itu. Dia julurkan lidahnya
yang aku hisap-hisap dan perasan airludahnya
yang lezat kureguk. Lalu kuciumi seluruh wajah
dan lehernya. Lalu kuulangi lagi apa yang aku
lakukan padanya tadi malam. Meremas-remas
payu daranya, menciumi leher, belakang telinga
dan ketiaknya, menghisap dan menggigit sayang
pentil susunya. Sementara itu tangan Tante juga
liar merangkul punggung, mengusap tengkuk,
dan meremas-remas rambutku.
Lalu sesudah puas menjilat buah dada dan
mengulum pentilnya, ciumanku turun ke pusar
dan terus ke bawah. Seperti kemarin aku kembali
menciumi jembut di vaginanya yang tebal seperti
martabak Bangka, menjilat klitoris, labia dan tak
lupa bagian dalam kedua pahanya yang putih.
Lalu aku mengambil posisi seperti tadi malam
untuk menungganginya.
Tante menyambut penisku di liang vaginanya
dengan gairah. Karena Tante Ratih sudah naik
birahi penuh, setiap tusukan penisku menggesek
dinding liangnya tidak hanya dinikmati olehku
tetapi dinikmati penuh oleh dia juga.
Setiap kali sambil menahan nikmat dia berbisik di
telingaku “Jangan buru-buru ya sayang, ……..
jangan buru-buru ya sayang.” Dan aku memang
berusaha mengendalikan diri menghemat tenaga.
Kuingat kata-kata pelatih sepakbola-ku. Kamu itu
main dua kali 45 menit, bukannya cuman
setengah jam. Karena itu perlu juga latihan lari
marathon. Dari pengalaman tadi malam kujaga
agar penisku yang memang berukuran lebih
panjang dari orang kebanyakan itu jangan sampai
terbenam seluruhnya karena akan memancing
reaksi liar tak terkendali dari Tante Ratih. Aku bisa
bobol lagi. Aku menjaga hanya masuk dua
pertiga atau tiga perempat.
Dan kurasakan Tante Ratih juga berusaha
mengendalikan diri. Dia hanya menggerakkan
panggulnya sekadarnya menyambut kocokan
batangku. Kerjasama Tante membantu aku.
Untuk lima menit pertama aku menguasai bola
dan lapangan sepenuhnya. Kujelajahi sampai dua
pertiga lapangan sambil mengarak dan mendrible
bola, sementara Tante merapatkan pertahanan
menunggu serangan sembari melayani dan
menghalau tusukan-tusukanku yang mengarah
ke jaring gawangnya. Selama lima menit
berikutnya aku semakin meningkatkan tekanan.
Terkadang bola kubuang ke belakang , lalu
kugiring dengan mengilik ke kiri dan ke kanan,
terkadang dengan gerakan berputar. Kulihat Tante
mulai kewalahan dengan taktik-ku. Lima menit
berikutnya Tante mulai melancarkan serangan
balasan. Dia tidak lagi hanya bertahan. Back kiri
dan bek kanan bekerjasama dengan gelandang
kiri dan gelandang kanan, begitupun kiri luar dan
kanan luar bekerjasama membuat gerakan
menjepit barisan penyerangku yang membuat
mereka kewalahan. Sementara merangkul dan
menjepitkan paha dan kakinya ke panggulku
Tante Ratih berbisik mesra “jangan buru-buru ya
sayang …. jangan tergesa-gesa ya Dit?”. Akupun
segera mengendorkan serangan, menahan diri.
Dan lima menit lagi berlalu. Lalu aku kembali
mengambil inisiatif menjajaki mencari titik lemah
pertahanan Tante Ratih. Aku gembira karena aku
menguasai permainan dan lima menit lagi berlalu.
Tante Ratih semakin tersengal-sengal,
rangkulannya di punggung dan kepalaku semakin
erat. Dan aku tidak lagi melakukan penjajakan.
Aku sudah tahu titik kelemahan pertahanannya.
Sebab itu aku masuk ke tahap serangan yang
lebih hebat. Penggerebekan di depan gawang.
Penisku sudah lebih sering masuk tiga perempat
menyentuh dasar liang kenikmatan Tante Ratih.
Setiap tersentuh Tante Ratih menggelinjang. Dia
pererat rangkulannya dan dengan nafas tersengal
dia kejar mulutku dengan mulutnya dan mulut
dan lidah kamipun kembali berlumatan dan
kerkucupan.
“Dit”, bisiknya. “Punyamu panjang sekali.”
“Memek Tante tebal dan enak sekali”, kataku balas
memuji dia. Dan pertempuran sengit dan panas
itu berlanjut lima lalu sepuluh menit lagi. Lalu
geliat Tante Ratih semakin menggila dan ini
menyebabkan aku semakin gila pula memompa.
Aku tidak lagi menahan diri. Aku melepaskan
kendali syahwat berahiku selepas-lepasnya.
Kutusuk dan kuhunjamkan kepala ******-ku
sampai ke pangkalnya berkali-kali dan berulang-
ulang ke dasar rahimnya sampai akhirnya Tante
Ratih tidak sadar menjerit “oooooohhhhhh…” .
Aku terkejut, cepat kututup mulutnya dengan
tanganku, takut kedengaran orang, apalagi kalau
kedengaran oleh ibuku di sebelah. Sekalipun
demikian pompaanku yang dahsyat tidak
berhenti. Dan saat itulah kurasakan tubuh Tante
Ratih berkelojotan sementara mulutnya
mengeluarkan suara lolongan yang tertahan oleh
tanganku. Dia orgasme hebat sekali.
“Sudah Dit, Tante sudah tidak kuat lagi”, katanya
dengan nafas panjang-singkatan setelah
mulutnya kulepas dari bekapanku. Kulihat ada
keringat di hidung, di kening dan pelipisnya.
Wajah itu juga kelihatan letih sekali. Aku
memperlambat lalu menghentikan kocokanku.
Tapi senjataku masih tertanam mantap di memek
tebalnya.
“Enak Tante?”, bisikku.
“Iya enak sekali Dit. Kamu jantan. Sudah ya?
Tante capek sekali”, katanya membujuk supaya
aku melepaskannya. Tapi mana aku mau? Aku
belum keluar, sementara batang kelelakianku
yang masih keras perkasa yang masih tertancap
dalam di liang kenikmatannya sudah tidak
sabaran hendak melanjutkan pertempuran.
“Sebentar lagi ya Tante,” kataku meminta , dan
dia mengangguk mengerti. Lalu aku melanjutkan
melampiaskan kocokanku yang tadi tertunda.
Kusenggamai dia lagi sejadi-jadinya dan
berahinya naik kembali, kedua tangannya kembali
merangkul dan memiting aku, mulutnya kembali
menerkam mulutku. Lalu sepuluh menit
kemudian aku tak dapat lagi mencegah air mani-
ku menyemprot berkali-kali dengan hebatnya,
sementara dia kembali berteriak tertahan dalam
lumatan mulut dan lidahku. Liang vaginanya
berdenyut-denyut menghisap dan memerah
sperma-ku dengan hebatnya seperti tadi. Kakinya
melingkar memiting panggul dan pahaku.
Persetubuhan nikmat diantara kami ternyata
berulang dan berulang dan berulang dan
berulang lagi saban ada kesempatan atau
tepatnya peluang yang dimanfaatkan.
Suami Tante Ratih Om Hendra punya hobbi main
catur dengan Bapakku. Kalau sudah main catur
bisa berjam-jam. Kesempatan itulah yang kami
gunakan. Paling mudah kalau mereka main catur
di rumahku. Aku datangi terus Tante Ratih yang
biasanya berhelah menolak tapi akhirnya mau
juga. Aku juga nekad mencoba kalau mereka
main catur di rumah Tante Ratih. Dan biasanya
dapat juga walau Tante Ratih lebih keras
menolaknya mula-mula. Hehe kalau aku tak yakin
bakalan dapat juga akhirnya manalah aku akan
begitu degil mendesak dan membujuk terus.
Tiga bulan kemudian sesudah peristiwa pertama
di kala hujan dan badai itu aku ketakutan sendiri.
Tante Ratih yang lama tak kunjung hamil,
ternyata hamil. Aku khawatir kalau-kalau bayinya
nanti hitam. Kalau hitam tentu bisa gempar.
Karena Tante Ratih itu putih. Om Hendra kuning.
Lalu kok bayi mereka bisa hitam? Yang hitam itu
kan si Didit. Hehehehe … tapi itu cerita lain lagilah.
Untuk cerita ini cukuplah sekian dulu.


Adult | GO HOME | Exit
1/4365
U-ON

inc Powered by Xtgem.com